" Dominasi Pria dan Perempuan
dalam Sejarah Sekretaris "
Dominasi Kaum Pria
Dalam Sejarah sekretaris sudah muncul sejak berabad-abad yang lalu. Pada masa Kekaisaran Romawi, sekretaris menjadi tangan kanan sang kaisar. Sekretaris pun memegang peranan penting di masa kejayaan Renaissance. Segala keadaan raja/kaisar diketahui oleh sekretarisnya karena biasanya raja mencurahkan hati padanya. Dan tugas sekretaris pada masa itu ialah menyelesaikan masalah negara dan bangsa. Maka dari itu, sekretaris haruslah seseorang yang benar-benar bisa dipercaya sang raja.
Seiring berjalannya waktu, serta dengan semakin berkembangnya industri dan perdagangan, mulailah muncul kelas menengah yang disebut dengan istilah “nouveau riche”. Istilah ini dipakai untuk menyebut orang-orang kaya baru, para politisi, dan penguasa. Mereka butuh seseorang yang dapat dipercaya dan bisa berbagi rasa. Sama halnya dengan para raja/kaisar di masa lalu, orang-orang dari kelas menengah mempekerjakan sekretaris untuk mengatur kegiatan surat meyurat, keuangan, perjanjian-perjanjian, serta mengatur siapa saja yang berkenan/tidak berkenan mereka temui.
Dominasi Perempuan
Setelah lama didominasi kaum pria, tugas mengurus dokumen-dokumen dan klerikal secara perlahan-lahan diambil alih oleh kaum perempuan menjelang akhir abad ke-19. Tepatnya, sejak ditemukannya mesin ketik, yaitu sekitar tahun 1880-an, kaum perempuan mulai memasuki bidang kesekretarisan ini. Pekerjaan ini merupakan kesempatan pertama bagi kaum perempuan untuk bekerja di dunia bisnis karena pada saat itu kebanyakan kaum perempuan hanya bekerja sebagai guru atau pengasuh anak dan orang tua lanjut usia. Ketika pecah Perang Dunia I sampai berakhirnya Perang Dunia II, seiring dengan makin bertambahnya kebutuhan akan tentara di medan perang, posisi sekretaris mulai didominasi oleh kaum perempuan. Sejak saat itu, Sejarah Sekretaris selalu diidentikkan sebagai pekerjaan khusus perempuan.
Namun ketika perempuan menekuni bidang ini, pamor sekretaris menjadi buruk. Lingkup tugasnya menyempit. Dalam sejarah sekretaris, Perempuan yang bekerja sebagai sekretaris hanya diberi tugas mengetik, sehingga tidaklah heran kalau pengetahuan mereka sebatas pada pengoperasian mesin ketik. Peran mereka hanya sebagai juru ketik yang menyalin buah pikiran dan kebijakan yang dicetuskan pria ke atas kertas melalui mesin ketik, tanpa perlu tahu apa maknanya.
Profesi sekretaris tidaklah dianggap terhormat seperti dulu. Keadaan memburuk dengan adanya demonstrasi di Amerika yang dipimpin oleh Mrs. Sarah Martin Tisdale, selaku direktur National League for the Preservation of the American House. Semua orang yang ikut serta dalam demonstrasi ini tidak menerima perempuan berada ditengah-tengah kaum lelaki selama berjam-jam. Dunia bisnis saat itu memang didominasi oleh kaum pria. Mereka menyerukan bahwa perempuan yang bekerja sebagai juru ketik akan menyebabkan kemerosotan moral.
Lalu pada tahun 1911, seorang wanita bernama Katharine Gibbs dari Rhode Island mendirikan sebuah lembaga pendidikan bisnis untuk memberikan pelatihan pada para perempuan yang bekerja sebagai juru ketik. Mereka diberi keterampilan lain sehingga dapat menjadi pekerja yang profesional, tidak hanya pandai mengetik saja.
Menurut Katharine, kemampuan berkomunikasi yang baik serta perilaku yang baik dan sopan-santun akan memberi nilai tambah bagi para juru ketik. Usahanya ternyata membuahkan hasil yang baik. Sejak saat itu, kaum perempuan tidak hanya berperan sebagai juru ketik saja dalam dunia bisnis.
Dalam Sejarah sekretaris sudah muncul sejak berabad-abad yang lalu. Pada masa Kekaisaran Romawi, sekretaris menjadi tangan kanan sang kaisar. Sekretaris pun memegang peranan penting di masa kejayaan Renaissance. Segala keadaan raja/kaisar diketahui oleh sekretarisnya karena biasanya raja mencurahkan hati padanya. Dan tugas sekretaris pada masa itu ialah menyelesaikan masalah negara dan bangsa. Maka dari itu, sekretaris haruslah seseorang yang benar-benar bisa dipercaya sang raja.
Seiring berjalannya waktu, serta dengan semakin berkembangnya industri dan perdagangan, mulailah muncul kelas menengah yang disebut dengan istilah “nouveau riche”. Istilah ini dipakai untuk menyebut orang-orang kaya baru, para politisi, dan penguasa. Mereka butuh seseorang yang dapat dipercaya dan bisa berbagi rasa. Sama halnya dengan para raja/kaisar di masa lalu, orang-orang dari kelas menengah mempekerjakan sekretaris untuk mengatur kegiatan surat meyurat, keuangan, perjanjian-perjanjian, serta mengatur siapa saja yang berkenan/tidak berkenan mereka temui.
Dominasi Perempuan
Setelah lama didominasi kaum pria, tugas mengurus dokumen-dokumen dan klerikal secara perlahan-lahan diambil alih oleh kaum perempuan menjelang akhir abad ke-19. Tepatnya, sejak ditemukannya mesin ketik, yaitu sekitar tahun 1880-an, kaum perempuan mulai memasuki bidang kesekretarisan ini. Pekerjaan ini merupakan kesempatan pertama bagi kaum perempuan untuk bekerja di dunia bisnis karena pada saat itu kebanyakan kaum perempuan hanya bekerja sebagai guru atau pengasuh anak dan orang tua lanjut usia. Ketika pecah Perang Dunia I sampai berakhirnya Perang Dunia II, seiring dengan makin bertambahnya kebutuhan akan tentara di medan perang, posisi sekretaris mulai didominasi oleh kaum perempuan. Sejak saat itu, Sejarah Sekretaris selalu diidentikkan sebagai pekerjaan khusus perempuan.
Namun ketika perempuan menekuni bidang ini, pamor sekretaris menjadi buruk. Lingkup tugasnya menyempit. Dalam sejarah sekretaris, Perempuan yang bekerja sebagai sekretaris hanya diberi tugas mengetik, sehingga tidaklah heran kalau pengetahuan mereka sebatas pada pengoperasian mesin ketik. Peran mereka hanya sebagai juru ketik yang menyalin buah pikiran dan kebijakan yang dicetuskan pria ke atas kertas melalui mesin ketik, tanpa perlu tahu apa maknanya.
Profesi sekretaris tidaklah dianggap terhormat seperti dulu. Keadaan memburuk dengan adanya demonstrasi di Amerika yang dipimpin oleh Mrs. Sarah Martin Tisdale, selaku direktur National League for the Preservation of the American House. Semua orang yang ikut serta dalam demonstrasi ini tidak menerima perempuan berada ditengah-tengah kaum lelaki selama berjam-jam. Dunia bisnis saat itu memang didominasi oleh kaum pria. Mereka menyerukan bahwa perempuan yang bekerja sebagai juru ketik akan menyebabkan kemerosotan moral.
Lalu pada tahun 1911, seorang wanita bernama Katharine Gibbs dari Rhode Island mendirikan sebuah lembaga pendidikan bisnis untuk memberikan pelatihan pada para perempuan yang bekerja sebagai juru ketik. Mereka diberi keterampilan lain sehingga dapat menjadi pekerja yang profesional, tidak hanya pandai mengetik saja.
Menurut Katharine, kemampuan berkomunikasi yang baik serta perilaku yang baik dan sopan-santun akan memberi nilai tambah bagi para juru ketik. Usahanya ternyata membuahkan hasil yang baik. Sejak saat itu, kaum perempuan tidak hanya berperan sebagai juru ketik saja dalam dunia bisnis.
Sejarah Terbentuknya
Ikatan Sekretaris dan Administratif Profesional Indonesia
(ISI)
Suatu organisasi profesi kesekretarisan yang didirikan pada tanggal 7 Juli 1972, yang dikukuhkan dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta tertanggal 8 Juli 1975 dengan nama awal Jakarta Secretaries Club.
Jakarta Secretaries Club didirikan atas prakarsa Airlines Secretaries Club, suatu perkumpulan khusus bagi para sekretaris perusahaan penerbangan yang juga mengikutsertakan para sekretaris dari berbagai perusahaan di Jakarta untuk turut serta membentuk suatu organisasi sekretaris profesional.
Dengan terbentuknya suatu organisasi Sekretaris se-Asia yaitu “Association of Secretaries in Asia” (ASA) pada bulan Februari 1974 di Manila dan untuk menjadi anggota organisasi tersebut, maka status perkumpulan “Jakarta Secretaries Club” dirubah menjadi suatu organisasi profesi dengan Akte Notaris No. 22 tertanggal 13 Juni 1974 menjadi Ikatan Sekretaris Indonesia
Pada tahun 2006, atas saran dari ASA, singkatan ISI disempurnakan menjadi Ikatan Sekretaris dan Administratif Profesional Indonesia (ISI).
Sampai saat ini ISI sudah berkembang pesat dan memiliki 14 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Lhokseumawe, Manado, Makasar, Balikpapan, Bali, Medan dan Batam.
Jakarta Secretaries Club didirikan atas prakarsa Airlines Secretaries Club, suatu perkumpulan khusus bagi para sekretaris perusahaan penerbangan yang juga mengikutsertakan para sekretaris dari berbagai perusahaan di Jakarta untuk turut serta membentuk suatu organisasi sekretaris profesional.
Dengan terbentuknya suatu organisasi Sekretaris se-Asia yaitu “Association of Secretaries in Asia” (ASA) pada bulan Februari 1974 di Manila dan untuk menjadi anggota organisasi tersebut, maka status perkumpulan “Jakarta Secretaries Club” dirubah menjadi suatu organisasi profesi dengan Akte Notaris No. 22 tertanggal 13 Juni 1974 menjadi Ikatan Sekretaris Indonesia
Pada tahun 2006, atas saran dari ASA, singkatan ISI disempurnakan menjadi Ikatan Sekretaris dan Administratif Profesional Indonesia (ISI).
Sampai saat ini ISI sudah berkembang pesat dan memiliki 14 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Lhokseumawe, Manado, Makasar, Balikpapan, Bali, Medan dan Batam.